Selasa, 28 Juni 2016

Menonton Nyaman, Sebuah Harapan


PKB 2016
Gedung kesenian Art Centre kembali ramai sejak tanggal 11 Juni 2016. Demikian pula lalu-lintas di seputaran Jalan Nusa Indah, Denpasar. Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 resmi dibuka oleh Presiden Jokowi, dan akan berlangsung sampai tanggal 9 Juli 2016 mendatang. Sebuah ajang berkesenian tahunan terbesar di Bali. Tahun ini, saya pun tidak melewatkan ajang kesenian tahunan ini. Sejak dibuka, beberapa kali saya sudah datang langsung ke arena PKB. Baik itu sekedar melihat-lihat ataupun menikmati pagelaran seni yang dipentaskan. Suasana yang saya rasakan di arena PKB, hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak banyak perubahan pada susunan stand pameran. Tidak banyak pula perubahan pada arena pementasan seni. Entah apa ini perasaan saya semata, atau mungkin dirasakan pula oleh pengunjung arena PKB lainnya.
Sesuai judul tulisan, pada kesempatan ini saya ingin menyoroti pementasan seni di arena PKB. Panggung-panggung yang dipakai masih tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya, panggung terbuka dan panggung tertutup. Panggung terbuka ada lima, yaitu: Panggung Terbuka Ardha Candra, Kalangan Angsoka, Kalangan Ratna Kanda, Kalangan Ayodhya, dan Panggung Terbuka Ksirarnawa. Panggung tertutup ada dua, yaitu: Gedung Ksirarnawa dan Wantilan. Pada saat saya berkunjung, ada beberapa kesenian yang dipentaskan di beberapa panggung. Masyarakat yang datang menonton sangat banyak. Disatu sisi hal ini sangat patut disyukuri. Artinya antusiasme terhadap seni budaya Bali belumlah luntur di era modern ini. Namun, di sisi lain menimbulkan kedongkolan tersendiri. Daya tampung panggung-panggung di Art Centre seakan tidak mampu mengakomodasi rasa antusiasme itu. Sebagian besar penonton, termasuk saya, terpaksa harus berdiri berdesakan karena tidak kebagian tempat duduk. Bahkan, dua panggung terbesar di areal Art Centre, yaitu: Ardha Candra dan Ksirarnawa, tidak lepas dari masalah yang sama. Hal ini terus berulang setiap tahun. Memang tidak bisa disama-ratakan untuk semua pementasan. Ada kalanya beberapa pementasan sepi penonton, namun pada umumnya berdesakan adalah sesuatu yang “biasa” terjadi. Kenyamanan menonton di arena PKB masih hanya sebatas harapan.
Selain kurangnya kapasitas tempat duduk, ada satu masalah lagi yang bisa dirasakan di Ardha Candra. Masalah posisi tiang lampu sorot dan sound system yang amat mengganggu kenyamanan mata. Seingat saya belasan tahun yang lalu, keempat tiang pancang besi itu ada di empat sudut, di belakang penonton. Kini keempat tiang pancang itu tetap ada di empat sudut, tapi posisinya di depan penonton. Posisi ini jelas menghalangi jangkauan pandang mata manusia normal. Bagi penonton berstatus VVIP hal ini mungkin tidaklah mengganggu. Namun bagi saya dan mungkin sebagian besar penonton biasa lainnya, tanpa status VVIP, hanya bisa mengelus dada. Hal ini makin terasa miris, saat diantara penonton yang berdesakan terlihat adanya warga negara asing. Keberadaan mereka adalah perwakilan mata dunia. Entah apa yang ada dipikiran mereka tentang Bali saat itu.
Sebagai pengunjung PKB biasa, tanpa status VVIP, pernah saya memiliki mimpi. Mimpi yang tersimpan bertahun-tahun lamanya. Saya bermimpi peningkatan kapasitas Ardha Candra dengan tambahan tribun penonton bertingkat. Model tribun terbuka bertingkat seperti ini biasa diadopsi stadion olahraga kelas dunia. Gedung Wantilan di sisi barat laut sudah mengadopsi model tribun bertingkat ini, hanya saja kapasitasnya masih sangat minim. Selain itu, saya juga bertanya-tanya apa sebenarnya kegunaan kolam di pinggir panggung Ardha Candra. Seandainya saja kolam itu ditiadakan, dan diganti tribun penonton tentu akan bisa lebih bermanfaat. Demikian pula gedung Ksirarnawa. Saya bermimpi adanya tribun penonton bertingkat layaknya gedung-gedung opera dunia, dengan panggung yang lebih lebar dan luas. Mimpi saya berlanjut, dengan menghilangkan Kalangan Angsoka dan Kalangan Ratna Kanda yang kapasitasnya sangat mungil serta stand-stand kuliner disekitarnya. Dengan demikian, fokus menonton nantinya hanya akan terpusat di Panggung Terbuka Ksirarnawa saja. Bisa dibiarkan tetap berupa tanah lapang, atau ditambahkan tribun berundak baik di sisi kanan maupun kiri panggung. Untuk stand kuliner seluruhnya bisa dipusatkan pada bagian barat laut Art Centre, dengan penataan yang lebih baik tentunya. Mimpi lainnya adalah merubah model panggung Kalangan Ayodhya di bagian timur laut, menjadi model Ardha Candra versi mini. Model tribun terbuka berbentuk setengah lingkaran, kalau bisa dibentuk bertingkat guna menambah kapasitas penonton. Kalau perlu kolam teratai di sebelahnya dikorbankan saja, mengingat fungsinya yang entah untuk apa. Sedangkan Gedung Wantilan di bagian barat laut bisa dikonversi menjadi Ksirarnawa versi mini, dengan perluasan kapastitas tempat duduk. Kalau perlu gedung pameran didekatnya dikorbankan saja, mengingat fungsinya yang minim. Nantinya hanya akan ada lima panggung di Art Centre, dengan kapasitas penonton bertambah dua sampai tiga kali lipat. Lima buah panggung yang nyaman, kiranya lebih baik ketimbang tujuh buah panggung yang berdesakan. Yah, namanya juga bermimpi boleh kan?
Selain panggung, sistem irigasi juga perlu mendapat sorotan. Pernah saya datang kebetulan hujan turun dengan derasnya. Maka bisa ditebak hasilnya, air jadi tergenang dimana-mana. Tidak lama memang, tapi mengganggu. Meminimalisir beton dan menggantinya dengan paving atau rumput, sepertinya bisa menjadi solusi. Hitung-hitung bisa menambah ruang terbuka hijau. Atau paling tidak, saluran-saluran air yang ada bisa diperlebar dan dipastikan dapat mengalir dengan baik. Mimpi terakhir saya adalah soal toilet di areal Art Centre. Sempat saya mencoba sebagian besar toilet yang ada, dan ternyata airnya mengalir. Sebuah kemajuan yang patut mendapat pujian. Namun, untuk kebersihan masih menjadi pekerjaan rumah yang butuh perbaikan. Mimpi saya tentu toilet selevel airport Ngurah Rai dong pastinya. Dan berbicara tentang kebersihan, bak-bak sampah sepertinya masih perlu ditambah di beberapa titik. Sekali lagi, namanya juga bermimpi boleh kan?
Selain kenyamanan penonton, kenyamanan para pengisi acara juga patut disoroti. Para pekerja seni ini adalah bintang di ajang PKB. Mereka sangat layak mendapat pelayanan yang baik. Saya perhatikan ruang berhias di masing-masing panggung juga perlu mendapat polesan renovasi. Perlu direnovasi agar lebih ber-standar modern. Mengingat Art Centre tidak hanya dipakai untuk event bertaraf nasional, tapi juga internasional. Pernah saya melihat penari joget bumbung yang pentas di Panggung Terbuka Ksirarnawa, berhias di bale bengong, di salah satu sudut lantai dua gedung. Hal ini tentu saja sangat disayangkan. Mereka harusnya layak mendapat ruang berhias yang lebih bersifat privasi. Tidak hanya itu, para pekerja seni ini juga layak mendapat fasilitas transportasi yang layak. Mengingat mereka datang dari berbagai daerah di Bali. Ini belum kita berbicara pula mengenai peningkatan kesejahteraan. Sekali lagi perlu digaris-bawahi kalau para pekerja ini adalah bintang di ajang PKB. Mereka sangat layak mendapat pelayanan yang baik.
Dengan meningkatnya kapastitas sarana prasarana panggung di Art Centre, diharap kenyamanan menonton pementasan seni di ajang PKB akan tercipta. Sadar atau tidak, keengganan datang berkunjung ke arena PKB sebagian besar ditimbulkan oleh tidak adanya kenyamanan. Kalau lalu muncul selentingan, “sudah dikasih nggak bayar kok minta nyaman”, maka itu adalah pemikiran feodal. PKB harus bisa merubah image-nya menjadi tempat nongkrong yang asyik dan bertaraf modern. Kini PKB adalah sebuah event berlevel nasional bahkan internasional, dimana ajang PKB masuk dalam tagline program “Wonderful Indonesia” Kementerian Pariwisata. Image yang dirasakan selama pelaksanaan PKB akan berbanding lurus pula dengan image Bali. Merenovasi gedung kesenian Art Centre memang membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Namun, melalui perencanaan yang baik pasti akan bisa diwujudkan. Kalau pun nantinya selama renovasi Art Centre tidak bisa menjadi tuan rumah PKB, sepertinya kabupaten-kabupaten lain akan siap ditunjuk sebagai tuan rumah sementara. Ingat kalau ajang PKB itu adalah milik Bali, bukan Kota Denpasar semata.
Terakhir, saya ingin sedikit memberi masukan untuk Bapak dan Ibu, pemimpin-pemimpin Bali yang terhormat. Sungguh bukan maksud saya, sebagai penulis, untuk berbuat lancang kepada Bapak dan Ibu. Sesuai dengan tema PKB ke-38, yaitu Karang Awak. Masukan kecil ini semata-mata didasari rasa cinta saya terhadap seni dan budaya Bali, termasuk keberlangsungan ajang tahunan PKB. Apabila disela-sela kesibukan Bapak dan Ibu sempat datang ke ajang PKB, tolong datanglah sebagai pengunjung biasa. Tanpa kawalan, tanpa protokoler. Dengan demikian, Bapak dan Ibu mungkin bisa merasakan apa yang saya rasakan dan impikan. Atau mungkin yang kami semua, masyarakat Bali rasakan dan impikan. Para pengunjung biasa, tanpa status VVIP. Terima kasih.

Tanjung Bungkak, 27 Juni 2016
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar